Bab 9
Dia mengenakan topi hitam dan seragam biru yang dipadu dengan rompi merah. Di bagian tengah rompi itu terdapat tulisan ‘Patroli’. Dia mengenakan sepatu bot, di pinggangnya juga bergantung sebilah golok.
Pria itu tidak terlalu tinggi, tetapi juga tidak pendek. Dia terlihat seperti orang cerdik pada umumnya.
Namun, kemunculannya langsung membuat seluruh Pasar Timur menjadi hening.
Semua amarah yang terukir di wajah setiap pedagang langsung sirna dan digantikan dengan seulas senyum menyanjung.
Pria paruh baya itu adalah petugas patroli Pasar Timur. Namanya Eko Makmur.
Status seorang petugas patroli tidak termasuk tinggi di ibu kota provinsi. Akan tetapi, para penduduk juga tidak berani menyinggungnya.
Di ibu kota provinsi, jabatan yang berpangkat tinggi adalah patih, pejabat sipil dan jenderal militer. Selebihnya yang tidak berpangkat adalah hakim, patroli, panitera dan sebagainya. Mereka biasanya disebut ‘pejabat’.
Meskipun para pejabat ini tidak berpangkat, mereka termasuk bagian pemerintahan dan bergaji tinggi. Posisi mereka biasanya dilanjutkan oleh anak-anak mereka.
Setiap pejabat memiliki puluhan bawahan yang membantu mereka menangani tugas dari pemerintah.
Para pejabat tidak memberi imbalan kepada anak buah mereka. Jadi, para bawahan ini harus mendapatkan keuntungan sendiri pada saat menjalankan tugas.
Keuntungan besar yang didapatkan para bawahan ini harus dibagikan kepada ‘pejabat’, sedangkan keuntungan kecil dapat dibagi oleh mereka sendiri.
Iwan adalah bawahan Eko. Tujuh puluh persen keuntungan yang didapatkan Iwan dari pedagang ikan akan dibagikan kepada Eko. Sementara 30% sisanya akan dibagi Iwan dengan delapan anak buahnya.
Saat melihat bawahannya tersungkur di lantai, Eko tidak langsung datang menghampiri mereka. Dia berdiri di tempat untuk mengamati mereka terlebih dahulu, lalu baru berjalan ke depan gerobak.
Tadi, Danu dan Doddy tidak merasa takut saat menghadapi sembilan preman. Namun, mereka malah langsung ketakutan saat melihat Eko.
Sony juga takut hingga gemetaran, sedangkan Hasan hanya mengerutkan keningnya tanpa mengatakan apa pun.
Wira mengerti kenapa mereka berempat bereaksi seperti itu.
Di mata para penduduk desa, mereka tidak mampu menyinggung hakim, patroli dan pejabat-pejabat kecil lain yang berhubungan dengan kantor pemerintahan daerah.
“Pak Eko!”
Begitu melihat bosnya datang, Iwan buru-buru mengadu, “Kamu harus membantuku menegakkan keadilan. Aku datang ke Pasar Timur untuk membeli ikan, tapi kelima orang ini malah memukuliku sampai begini. Cepat tangkap mereka ke pengadilan daerah!”
“Sembarangan!”
Doddy yang tidak sabaran sudah tidak bisa menahan diri. Dia langsung berkata, “Jelas-jelas kami yang datang untuk menjual ikan, tapi kamu malah mau memeras kami dengan meminta 20% keuntungan. Itu sudah lebih tinggi 10% dari pajak yang harus kami bayar! Sekarang, kamu malah fitnah kami lagi! Sepertinya aku harus menghabisimu hari ini!”
Begitu mendengar ucapan Doddy, Iwan langsung ketakutan dan bersembunyi di belakang Eko. Dia sudah merasakan kehebatan Doddy tadi.
Sebelum Doddy sempat bertindak, Danu pun menahannya.
Saat melihat situasi ini, tidak ada orang yang berani bersuara. Mereka hanya menatap Eko dalam diam.
Eko mengamati Wira, lalu bertanya, “Kamu itu pelajar?”
Wira mengangguk.
Eko pun bertanya lagi, “Kamu punya prestasi?”
Wira melaporkan nilanya, “Waktu di Tahun Makmur kedua, aku dapat peringkat ketiga!”
Lima tahun yang lalu, raja baru Kerajaan Nuala naik jabatan. Tahun jabatannya disebut ‘Tahun Makmur’.
Dua tahun setelah raja baru menjabat, pemilik tubuh sebelumnya mengikuti ujian sarjana yang menerima 20 orang pelajar dari provinsi kecil. Pemilik tubuh sebelumnya menduduki peringkat ketiga dalam ujian itu. Pada zaman ini, pelajar yang berprestasi memiliki beberapa hak istimewa.
“Ternyata kamu itu seorang cendekiawan. Aku Eko Makmur, petugas patroli dari pengadilan daerah.”
Eko yang tadinya terlihat serius pun tersenyum dan menyanjung Wira. Kemudian, dia langsung berbalik dan menampar Iwan.
Iwan langsung tercengang hingga tidak merasakan darah yang mengalir dari sudut mulutnya.
“Dasar preman! Beraninya kamu menindas seorang cendekiawan! Hari ini, aku bakal bawa kamu ke pengadilan daerah supaya kamu dihukum!”
Eko pun langsung menyeret Iwan pergi. Preman-preman lainnya juga mengikuti mereka dengan patuh.
“Bukannya Iwan itu bawahan Eko? Kenapa Eko malah menangkapnya?”
“Soalnya yang Iwan ganggu itu seorang cendekiawan. Eko pasti takut cendekiawan itu menghukum keluarga mereka habis jadi pejabat tinggi. Jadi, dia pura-pura menghukum Iwan dulu!”
“Ah! Ternyata pemuda itu seorang cendekiawan! Tapi kenapa dia jadi pedagang?”
“Memangnya tadi kamu nggak dengar? Dia punya utang!”
Begitu Eko pergi, suasana di Pasar Timur menjadi ramai kembali.
Wira masih sedikit tertegun. Dia tidak menyangka ternyata reputasinya sebagai seorang pelajar cukup berguna juga.
Setelah tersadar dari keterkejutan, mereka berlima pun mulai menjual ikan.
Eko menyeret Iwan keluar dari Pasar Timur. Setelah keluar dari Pasar Timur, dia pun menendang Iwan lagi.
Iwan langsung berdiri dan buru-buru menyanjung Eko, “Pak Eko, dia cuman seorang pelajar, masih belum jadi sarjana. Perjalanannya untuk menjadi pejabat masih jauh! Kenapa kita harus takut padanya ….”
Sebelum Iwan menyelesaikan kalimatnya, Eko menamparnya lagi. “Dasar tolol! Dia sudah terpilih menjadi pelajar di usia 15 tahun, itu berarti dia sangat berbakat! Orang seperti ini cepat atau lambat pasti bakal jadi sarjana. Kalau sudah jadi pejabat besar, dia pasti bisa dengan gampang menghukummu! Orang paling mengerikan di dunia ini adalah cendekiawan! Cuman orang bodoh kayak kalian yang merasa cendekiawan itu mudah ditindas!”
Anak yang tidak sabaran itu bisa menghajar sembilan orang sendirian. Dia jelas adalah orang yang berlatih bela diri. Orang yang menarik anak yang tidak sabaran itu juga pasti jauh lebih hebat darinya.
Orang yang paling mengerikan adalah pria paruh baya yang memiliki tatapan tajam itu. Aura yang dipancarkannya bahkan lebih mengerikan dari seorang algojo. Dia pasti juga bukan orang biasa.
Jika Eko ingin menghadapi ketiga orang itu, dia juga belum tentu berhasil bahkan dengan mengerahkan seluruh anak buahnya. Bisa gawat jika masalah ini jadi besar dan diketahui pemimpin kabupaten.
Sebagai pejabat kecil, Eko paling jelas orang seperti apa yang bisa ataupun tidak bisa disinggung.
Setelah mendengar ucapan Eko, Iwan buru-buru berkata sambil tersenyum, “Pak Eko benar! Tapi gimana kalau kelak mereka masih terus berjualan ikan di Pasar Timur? Kita nggak boleh kehilangan keuntungan sebesar ini!”
“Tentu saja nggak boleh!”
Eko memicingkan matanya, lalu berkata, “Hari ini, kamu sudah dikalahkan mereka, kamu nggak bakal bisa menekan para pedagang itu lagi. Untuk sementara, ganti bos saja dulu. Nanti kalau ada kesempatan, kamu boleh menjabat lagi. Nggak perlu ambil keuntungan dari kelompok cendekiawan itu, tapi suruh mereka jangan umbar-umbar hal ini ke orang lainnya.”
Eko merasa orang-orang ini pasti sudah berusaha keras untuk menangkap segerobak ikan itu.
Lagi pula, cuacanya sudah makin dingin, ikan juga akan makin sulit ditangkap. Jadi, Eko merasa tidak mengambil keuntungan dari mereka juga tidak akan merugikan dirinya.
“Baik, Pak Eko!”
Iwan menunduk dengan tidak rela. Bos yang sudah turun pangkat mana mungkin bisa naik pangkat lagi.
Lagi pula, bos pengganti juga tidak begitu mudah dicari.
…
“Tiga belas ribu tujuh ratus enam puluh gabak!”
Ikan yang masih hidup sangat mudah dijual. Belum sampai dua jam, ikan di gerobak mereka hanya tersisa dua ekor yang besar dan sepuluh ekor yang kecil. Itu juga merupakan penghasilan bersih yang mereka dapat setelah membayar pajak.
Ini adalah pertama kalinya Sony, Danu dan Doddy melihat uang yang begitu banyak dalam hidup mereka. Mata mereka langsung berbinar.
Namun, Hasan malah menggeleng sambil mengerutkan keningnya. “Jumlah yang kita dapat ini masih belum setengah dari 40 ribu gabak!”
Ketiga orang itu langsung tersadar dan berkata dengan cemas, “Jadi gimana? Kita sudah nggak sempat tangkap ikan lagi. Hari ini hari terakhir bayar utang!”
Wira juga tersenyum masam. Dia awalnya mengira penjualan ikan yang masih hidup paling tidak bisa menghasilkan 20-30 ribu gabak. Alhasil, harga penjualan di Kerajaan Nuala masih belum mencapai harapannya.
“Cuman bisa pinjam uang dulu!” Hasan menghela napas, lalu berkata, “Aku masih punya 3.000 gabak. Kalau kita pinjam sama para kerabat, seharusnya bisa terkumpul sepuluh ribu gabak!”
Penduduk desa sangat miskin, tidak banyak orang yang bisa mengumpulkan 3.000 gabak.
Sony berkata sambil menggertakkan giginya, “Coba aku cari Kak Surya buat pinjam uang. Sekarang, kita sudah punya teknik rahasia tangkap ikan. Biarpun kita nggak kasih tahu mereka caranya, asalkan kita bisa menjanjikan sedikit keuntungan, dia mungkin bisa pinjamin sekitar 5.000-6.000 gabak!”
“Dengan begitu juga masih kurang 10 ribu gabak!”
Danu menatap Wira dan berkata, “Kak Wira, gadai saja gelang Kakak Ipar! Kita sudah punya teknik rahasia tangkap ikan. Kita bisa dapatkan kembali gelangnya dalam beberapa hari dengan membayar tambahan sedikit bunga.”
“Nggak perlu, aku masih punya cara lain!”
Wira menggeleng, lalu lanjut berkata, “Sekarang, kalian ke Pasar Selatan dan beli barang-barang yang kusuruh kalian beli pakai uang ini. Habis itu, pergi ke ‘Toko Besi Keluarga Salim’ di Pasar Utara untuk cari aku.”
Dari awal, Wira memang tahu dia tidak bisa mendapatkan 40 ribu gabak dari hasil menangkap ikan sehari.
Setelah mendengar Wira ingin membeli barang, keempat orang itu langsung terkejut.
Sony berkata dengan bingung, “Paman Hasan, lihat! Uang membayar utang sudah nggak cukup, tapi Wira malah mau belanja lagi. Apalagi semua yang dia suruh beli itu makanan, pakaian dan barang sekunder lain yang nggak penting. Dia mulai boros lagi!”
Ucapan Sony membuat Doddy marah. “Sony! Dasar nggak punya hati nurani! Kak Wira sudah membelikanmu dan Kakak pakaian dan sepatu, tapi kamu malah mengatainya!”
Sony mengeluh, “Aku cuman khawatir dia nggak bisa bayar utang!”
Danu yang dewasa pun berkata, “Ayah, kenapa Kak Wira membelikanku dan Sony pakaian yang serupa?”
Hasan menjawab, “Ikuti saja kata Wira. Dia itu orang yang punya banyak ide. Dia menyuruh kita melakukan ini pasti ada artinya. Patuhi saja perintahnya!”