Bab 3
Setelah bekerja hingga seluruh badannya sakit, Wira baru mengumpulkan seember rumput yang sudah dihaluskan.
Dia pun menjinjing ember itu sampai ke Sungai Jinggu sambil sesekali beristirahat selama perjalanan.
Wira memilih tempat yang ada banyak ikan, lalu menabur tepung kedelai ke dalam sungai.
Setelah ada umpan, ikannya menjadi semakin banyak. Wira pun menuangkan serpihan rumput ke dalam sungai dengan hati-hati.
Seiring dengan serpihan rumput yang menyebar, satu demi satu ikan pun mulai mengapung.
…
Tidak lama kemudian, Wira sudah berhasil menangkap delapan ekor ikan besar dan lima belas ekor ikan kecil.
Ikan yang besar beratnya di atas dua kilogram, sedangkan yang kecil beratnya di atas 250 gram. Wira melepaskan ikan yang lebih kecil dari itu.
Setelah matahari terbenam, Wira pun pulang ke rumah.
Dalam perjalanan pulang, Wira melewati sebuah gubuk jerami di ujung timur dusun. Di depan gubuk jerami itu, ada sebuah kandang sapi dan halaman kecil yang dibatasi dengan pagar bambu.
“Paman Hasan!” teriak Wira.
Tiga gadis cilik berlari keluar dari rumah. Mereka menatap Wira dengan penasaran, tetapi juga takut.
“Wira, ya? Pamanmu baru keluar. Ada apa?”
Seorang wanita paruh baya berjalan keluar dari rumah. Dia menatap Wira dengan waspada.
“Bibi Hani, siang tadi Paman Hasan sudah membantuku. Jadi, aku bawain beberapa ekor ikan untuk kalian!”
Wira menaruh dua ekor ikan besar dan enam ekor ikan kecil di depan rumah mereka. Setelah itu, Wira pun pergi.
“Ah! Ini sudah terlalu banyak! Wira, kamu bawa pulang saja!”
Bibi Hani yang awalnya terlihat waspada pun tercengang.
Pada zaman ini, semua orang hidup miskin. Kerabat yang membantu biasanya juga hanya memberi sedikit bahan pangan sebagai balasan, mana ada orang yang langsung memberikan begitu banyak ikan.
Bahkan kepala dusun yang paling kaya pun tidak rela membeli begitu banyak ikan pada saat Tahun Baru.
Jika ikan yang diberi Wira dijual, mereka sudah bisa menghasilkan beberapa ratus gabak. Bagi Hani, hadiah ini terlalu berharga.
Hani tidak mengerti kenapa si Pemboros itu memberikan begitu banyak ikan untuk mereka.
“Aku masih ada kok!”
Wira sama sekali tidak menoleh dan langsung pergi.
“Ikan! Ikan!”
Tiga gadis cilik itu langsung mengelilingi delapan ekor ikan dengan bersemangat.
Hani sangat kebingungan. Dia ingin memasak ikan itu untuk anaknya, tetapi juga merasa sayang dan takut.
Tidak lama kemudian, Hasan dan kedua putranya kembali.
Hani pun berkata dengan cemas, “Hasan, Wira bilang kamu sudah bantu dia. Jadi, tadi dia bawakan begitu banyak ikan untuk kita. Sebenarnya kamu bantu dia ngapain? Kenapa dia kasih kita begitu banyak ikan?”
“Aku cuman bantu dia gali rumput sebentar. Dari mana dia dapat begitu banyak ikan?”
Hasan menatap delapan ekor ikan itu dengan heran, lalu bertanya, “Kamu nggak salah lihat? Memang Wira yang kasih?”
Untuk mendapatkan ikan sebanyak ini, para nelayan juga harus melaut selama beberapa hari.
Kenapa Wira yang begitu lemah bisa menangkap begitu banyak ikan?
“Aku toh nggak buta, masa bisa salah mengenali Wira!” ujar Hani sambil memelototi Hasan.
Namun, Hani sudah tenang karena Hasan memang sudah menolong Wira. Dia pun menyimpan ikan itu dan berencana memasak seekor untuk dinikmati mereka sekeluarga.
Ikan yang tersisa akan dia jual untuk membeli kain. Sudah mau Tahun Baru, Hani mau membuat pakaian untuk anak-anaknya.
“Nggak bisa, kita nggak boleh terima. Aku nggak tahu dari mana dia dapatkan ikan ini, tapi dia berutang begitu banyak pada Pak Budi. Dia bisa menjual ikan-ikan ini untuk bayar utang.”
Hasan memasukkan ikan-ikan itu ke ember kayu, lalu hendak membawanya pergi.
“Hasan!” Hani memohon, “Balikin saja ikan yang besar ke Wira. Kita boleh masak ikan yang kecil untuk anak-anak. Mereka sudah lama nggak makan daging. Lagian, ikan kecil juga nggak begitu bernilai.”
Saat melihat kelima anaknya yang menelan ludah, Hasan pun meninggalkan enam ikan kecil dan membawa dua ikan besar itu pergi.
“Paman Hasan, dari mana kamu tangkap ikan sebesar itu! Satu ekor ini beratnya ada sekitar 2-3 kilo, ‘kan?”
Sony yang sedang berkeliaran di dusun menghampiri Hasan. Saat melihat dua ekor ikan yang dibawa Hasan, dia pun langsung menelan ludah. Dia sudah lama tidak makan enak.
Hasan menjawab, “Dua ekor ikan ini punya Wira, aku mau balikin ke dia!”
“Punya Wira?”
Sony tidak percaya.
Siang tadi, si Kutu Buku itu masih menggali rumput. Kenapa bisa tiba-tiba ada dua ikan besar?
Tubuh Wira sangat lemah, sedangkan ikan yang ditangkapnya sangat berat. Berhubung Wira terus berhenti untuk istirahat di sepanjang jalan, Hasan sudah menyusulnya sebelum dia sampai ke rumah.
Hasan mau mengembalikan ikannya, tetapi Wira tidak mau menerimanya. “Paman, kamu ngapain sih? Aku sudah bilang itu untukmu, kenapa dibalikin lagi?”
“Wira, Paman sudah terima ikan kecilnya. Kamu jual saja ikan yang besar untuk bayar utang.”
Hasan langsung memasukkan ikan itu ke keranjang bambu Wira.
“Paman, harga dua ikan ini juga nggak cukup bayar utang.”
Wira mengeluarkan ikannya lagi. “Kalau kamu merasa nggak enak, suruh saja Danu dan Doddy untuk bantuin aku besok. Aku jamin kelak kalian pasti bisa makan daging tiap hari!”
‘Makan daging tiap hari?’
Hasan sangat kaget.
Dia toh bukan pejabat, mana mungkin dia bisa makan daging setiap hari? Sudah bagus apabila mereka tidak kelaparan.
Namun, setelah melihat begitu banyak ikan yang Wira tangkap hari ini, Hasan pun sedikit menantikannya.
…
“Wira ke mana? Kenapa masih belum pulang? Jangan-jangan dia kabur?”
Wulan menunggu di depan pintu dengan gelisah.
Tepat pada saat hatinya kacau, dia melihat seseorang berjalan perlahan ke depan pintu.
Wulan langsung berlari menghampirinya. Saat melihat keranjang bambu yang dipenuhi ikan, Wulan langsung terkejut. Dia mengulurkan tangannya dengan maksud untuk membantu Wira. “Suamiku, kok kamu bisa punya begitu banyak ikan?”
Wira mencegah Wulan yang ingin membantunya mengangkat keranjang bambu itu, lalu berkata, “Ini terlalu berat, aku saja yang angkat!”
Wulan sangat kebingungan. Siapa yang memberi suaminya begitu banyak ikan?
Wira berkata lagi, “Malam ini, kumasakkan ikan buatmu ya!”
Wulan memaksakan seulas senyum. “Suamiku, kamu saja yang makan. Aku minum supnya saja. Besok, kita bisa bawa sisanya ke ibu kota provinsi untuk dijual!”
Wira memilih dua ekor ikan yang beratnya sekilo, lalu berkata, “Aku sudah punya cara untuk bayar utang. Nanti malam, kamu harus banyak makan. Kamu sudah terlalu kurus!”
Wulan menjadi sangat gelisah.
Suaminya bermulut manis lagi. Jadi, ikan-ikan ini pasti didapat dengan cara ilegal!
Wira membunuh dan membersihkan ikan yang akan dimasaknya. Wulan mau membantunya, tetapi Wira menyuruhnya untuk istirahat.
Tidak lama kemudian, Wira membawa dua ekor ikan yang sudah dia bersihkan ke dapur.
Namanya saja dapur, sebenarnya tempat ini hanyalah sebuah gubuk jerami yang diisi dengan kayu bakar, panci dan tungku api.
Di dalam sebuah lemari kayu, terdapat dua stoples yang berisi minyak dan garam kasar. Selain itu, juga ada lima buah mangkuk dan empat buah piring.
Di sampingnya, ada sebuah gentong besar berisi air. Di atas gentong, terletak sebuah gayung dan talenan.
Kesederhanaan tempat ini benar-benar mengejutkan Wira!
“Suamiku, kamu itu seorang pelajar. Aku saja yang masak!”
Wulan datang dengan membawa lampu minyak. Dapur yang tadinya gelap pun menjadi sedikit lebih terang.
“Nggak masalah, aku cuman mau cepat-cepat makan. Ayo nyalakan apinya!”
Wulan pun memanaskan pancinya. Kemudian, Wira menuangkan dua sendok besar minyak ke dalam panci.
“Suamiku, minyaknya terlalu banyak! Kalau begitu, minyak kita bakal cepat habis!”
Wulan sangat menyayangkan minyak yang digunakan Wira. Dua sendok besar minyak sudah cukup digunakan untuk setengah bulan.
“Kalau mau goreng ikan, minyaknya harus banyak. Gimana kalau gosong?”
Wira memasukkan kedua ekor ikan itu ke dalam panci. Suara gemericik begitu ikan masuk ke minyak panas pun terdengar. Aroma menggoreng ikan langsung menyerbak ke udara.
Gluk!
Wulan langsung menelan ludahnya.
Aroma ikan goreng yang harum juga menyerbak keluar dari dapur.
“Ikan! Keluarga Wira makan ikan! Makanan mereka bahkan lebih enak dari makanan kita waktu Tahun Baru!”
“Harum banget! Mereka pasti pakai banyak minyak!”
“Dia sudah berutang begitu banyak, kenapa masih berani makan ikan? Mana pakai begitu banyak minyak lagi! Dia memang boros banget!”
Saat mencium aroma ikan goreng yang harum, para penduduk yang melewati rumah Wira pun terlena.
Sony datang ke rumah Wira untuk mengecek apa yang dimakan Wira. Begitu mencium aroma yang harum, Sony pun kehilangan selera untuk memakan tiwul di piringnya.
Setelah menggoreng selama lima belas menit, Wira mengeluarkan garam untuk menaruh rasa.
Garam yang mereka pakai adalah garam yang belum dimurnikan. Warnanya masih sedikit kekuningan dan bercampur dengan kotoran.
Meskipun harganya tidak mahal, hanya sekitar 50 gabak untuk setegah kilogram, ada banyak penduduk yang tidak mampu membelinya.
Setelah ikannya matang, Wira menaruhnya ke piring, lalu menaburkan sedikit serpihan sayuran liar. Kemudian, dia membawanya ke meja makan.
Wira meletakkan sebuah piring berisi ikan di hadapan Wulan, lalu berkata, “Cepat makan! Nanti nggak enak kalau sudah dingin!”
Kruyuk!
Wulan sebenarnya sudah lapar, tetapi dia tetap tidak menyentuh ikan itu. Dia malah bertanya dengan berlinang air mata, “Suamiku, jujurlah padaku. Dari mana kamu dapat ikannya?”